PT PAL (persero) kini dinyatakan sakit dan pemerintah telah memutuskan untuk menyehatkannya melalui penugasan pada PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk membantu (Jawa Pos, 31/1/09). PPA yang boleh dikata merupakan badan lanjutan dari BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) telah memiliki banyak pengalaman dalam menyehatkan perusahaan sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan kedua tahun 1997. Tetapi rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pekerjaan menyehatkan sama sekali bukan pekerjaan mudah. Tingkat kegagalannya relatif tinggi. Apalagi setiap penyehatan satu perusahaan tertentu boleh dikata selalu unik. Oleh karena itu semata-mata mendasarkan resep sukses penyehatan perusahaan yang pernah sukses diimplementasikan tentu sama sekali tidak memberikan jaminan sukses jika diterapkan pada perusahaan lain.
Apalagi kali ini yang disehatkan adalah badan usaha milik negara (BUMN). Menyehatkan BUMN jauh lebih pelik dan kompleks dibanding dengan penyehatan perusahaan swasta. Perbedaan fundamentalnya terletak pada tidak adanya kepemilikan riil pada BUMN. Memang ada pemegang saham, tetapi apakah mereka bisa diperlakukan sama dan oleh karena itu memiliki hak-hak yang sama seperti pemilik perusahaan swasta? Jawabnya begitu jelas, yakni tidak. Akibatnya sejak dari awal proses penyehatan BUMN sudah terganggu dengan teori agensi - kepentingan agen: manajemen dan karyawan. Kepentingan mereka yang begitu beragam tidak dapat dengan mudah diabaikan begitu saja. Jangan lupa, jika gegabah proses penyehatan perusahaan bisa dengan jelas mengancam kepentingan mereka.
Tidak kalah pentingnya penyehatan BUMN selalu melibatkan politik perkantoran (office politic) yang tinggi. Oleh karena itu, pokok persoalan pertama yang sering dipertanyakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) biasanya bukan pada manfaat yang akan dipeoleh dan biaya yang hendak ditanggung, tetapi lebih pada integritas dan rekam jejak (track record) pemimpin - bisa lama atau baru - penyehatan perusahaan. Jika mereka tidak sepi dari kepentingan, maka sedari awal sudah dapat dipastikan pemimpin tersebut akan mengalami kegagalan dalam menyehatkan perusahaan. Ini terkait dengan sebab utama yang biasanya menjadikan sebuah BUMN gagal: yakni intervensi politik. Syarat rekam jejak bersih tidak dapat ditawar sedikitpun.
Prasyarat kredibilitas politik (political credibility) itu bukan satu-satunya prasyarat pendahuluan yang begitu penting, tetapi masih perlu ditambah lagi prasyarat kehendak politik (political desirability) dan kelayakan politik (political feasibiliy). Jika kehendak politik penyehatannya hanya setengah-setengah dan disaat yang sama pemimpin baru tidak mendapatkn dukungan politik internal dan eksternal yang lebih dari cukup, maka sebaiknya tidak coba-coba menyehatkan BUMN. Jadi penentu sukses pertama-tama penyehatan BUMN bukan soal teknis manajerial – apalagi sekedar manajemen fungsional - melainkan lebih pada kekuatan kepemimpinan (strong leadership).
Disamping persoalan kepemimpinan, diagnosis harus diarakan untuk melihat tingkat keparahan sakit. Karena PT PAL telah menderita kerugian begitu banyak (Rp. 4,4 trilyun) pada tahun lalu dan diperkirakan juga akan mengalami kerugian pada dua tahun yang akan datang (Jawa Pos, 31/1/09), maka bisa dipastikan sakit yang diderita tidak lagi termasuk sakit ringan, sudah sudah berat. Indikator sakit sudah sampai pada uang. Oleh karena itu pada tahapan awal tidak ada pilihan lain selain memasukkan PT PAL pada ruang perawatan intensif intensif care unit/ICU). Dalam keadaan demikian, pemimpin penyehatan harus mengarahkan semua kemampuan yang dimiliki untuk mendapatkan dana segar. Cash is a king. Boleh dikata uang tunai persis seperti darah segar yang dibutuhkan oleh manusia sakit yang telah kekuarangan darah. Inilah ujian terpenting ketika kini perusahaan berada pada fase paling kritis: tahap penyelamatan.
Ada pekerjaan tambahan lain yang mungkin dilakukan pada tahapan tersebut, yakni melakukan efisiensi. Ini biasanya dilakukan sebelum berpindah haluan menuju peningkatan efektifitas – pendapatan. Rugi sebesar itu biasanya tidak serta merta terjadi. Ada prosesnya. Umumnya juga terkait dengan adanya pemborosan. Jika ternyata ini terkait dengan banyaknya sumber daya manusia, maka ini sungguh pekerjaan teramat sulit. Lihat saja kasus BUMN penerbangan di Bandung itu: lama dan melelahkan. Apalagi kini momentumnya jelas-jelas tidak pas. Secara politik nasional, pilihan arah tersebut sangat tidak populer. Jadi perlu ekstra hati-hati jika terpaksa harus memasuki ranah ini.
Ketika PT PAL telah dapat dipastikan bisa diselamatkan pada tahapan kritis itu, maka barulah perhatian diarahkan untuk mencoba mencari kemenangan-kemenangan kecil (small wins) untuk membuat perusahaan bisa memasuki tahap stabilisasi dengan lebih nyaman. Harus ditemukan proyek-proyek kecil tambahan untuk membuktikan bahwa ada terobosan (dan perubahan) yang telah dihasilkan oleh pemimpin baru. Ini untuk membuktikan bahwa pemimpin baru bisa bekerja. Jika berhasil, maka legitimasi politiknya meningkat tajam. Tingkat kepercayaan karyawan yang meninggi itu, secara tidak langsung bisa digunakan untuk menjaga energi pimpinan agar tidak terkuras dengan cepat. Beban penyehatan bisa dipikul bersama yang menjadikan terasa lebih ringan.
Setelah itu, proses penyehatan boleh dikata telah memasuki tahapan peningkatan efektifitas: menambah omset penjualan. Tahapan ini juah lebih penuh tantangan dibanding tahapan sebelumnya, untuk tidak mengatakan lebih sulit. Percayalah, pekerjaan melakukan penyelamatan dan menekan biaya perusahaan itu jauh lebih mudah dari pada usaha memperoleh tambahan pekerjaan kecil-kecil ini. Apalagi jika dibandingkan dengan mendapatkan order penjualan baru. Sebaliknya, jika kemenangan kecil tersebut gagal diraih, maka masa bulan madu penyehatan akan segera berakhir. Penyehatan macet. Biasanya lebih muskil untuk diulang.
Dalam keadaan demikian, pemimpin penyehatan gagal membangkitkan emosi psikologis orang-orang yang dipimpin. Jika mereka tidak bangkit yang didahului oleh timbulnya perasaan terancam (sense of crisis), maka pemimpin akan segera mengalami kelelahan karena energi perubahan yang dimiliki akan dengan mudah tergerus dan terkuras habis. Layaknya orang yang dengan tiba-tiba merasa mengalami kehausan karena berada pada terik matahari kegagalan yang begitu panas. Tidak ada yang bisa membangkitkan emosi karyawan untuk besedia menumpahkan semua yang dimiliki untuk terlibat sepenuhnya dalam proses penyehatan, kecuali diri mereka sendiri. Pemimpin hanya membantu pada tahapan awal. Bangkitnya antusiasme karyawan itu terjadi jika ada bukti-bukti kecil yang terus bergulir. Dari sini harapan masa depan terbangun kembali.
Tulisan ini hanya sekedar usulan dari seseorang yang secara teoritis dan praktis pernah beberapa kali terlibat dalam penyehatan perusahaan. Boleh didengar dan boleh juga dicampakkan. Semuanya diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan.
*) Suwarsono Muhammad adalah dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Apalagi kali ini yang disehatkan adalah badan usaha milik negara (BUMN). Menyehatkan BUMN jauh lebih pelik dan kompleks dibanding dengan penyehatan perusahaan swasta. Perbedaan fundamentalnya terletak pada tidak adanya kepemilikan riil pada BUMN. Memang ada pemegang saham, tetapi apakah mereka bisa diperlakukan sama dan oleh karena itu memiliki hak-hak yang sama seperti pemilik perusahaan swasta? Jawabnya begitu jelas, yakni tidak. Akibatnya sejak dari awal proses penyehatan BUMN sudah terganggu dengan teori agensi - kepentingan agen: manajemen dan karyawan. Kepentingan mereka yang begitu beragam tidak dapat dengan mudah diabaikan begitu saja. Jangan lupa, jika gegabah proses penyehatan perusahaan bisa dengan jelas mengancam kepentingan mereka.
Tidak kalah pentingnya penyehatan BUMN selalu melibatkan politik perkantoran (office politic) yang tinggi. Oleh karena itu, pokok persoalan pertama yang sering dipertanyakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) biasanya bukan pada manfaat yang akan dipeoleh dan biaya yang hendak ditanggung, tetapi lebih pada integritas dan rekam jejak (track record) pemimpin - bisa lama atau baru - penyehatan perusahaan. Jika mereka tidak sepi dari kepentingan, maka sedari awal sudah dapat dipastikan pemimpin tersebut akan mengalami kegagalan dalam menyehatkan perusahaan. Ini terkait dengan sebab utama yang biasanya menjadikan sebuah BUMN gagal: yakni intervensi politik. Syarat rekam jejak bersih tidak dapat ditawar sedikitpun.
Prasyarat kredibilitas politik (political credibility) itu bukan satu-satunya prasyarat pendahuluan yang begitu penting, tetapi masih perlu ditambah lagi prasyarat kehendak politik (political desirability) dan kelayakan politik (political feasibiliy). Jika kehendak politik penyehatannya hanya setengah-setengah dan disaat yang sama pemimpin baru tidak mendapatkn dukungan politik internal dan eksternal yang lebih dari cukup, maka sebaiknya tidak coba-coba menyehatkan BUMN. Jadi penentu sukses pertama-tama penyehatan BUMN bukan soal teknis manajerial – apalagi sekedar manajemen fungsional - melainkan lebih pada kekuatan kepemimpinan (strong leadership).
Disamping persoalan kepemimpinan, diagnosis harus diarakan untuk melihat tingkat keparahan sakit. Karena PT PAL telah menderita kerugian begitu banyak (Rp. 4,4 trilyun) pada tahun lalu dan diperkirakan juga akan mengalami kerugian pada dua tahun yang akan datang (Jawa Pos, 31/1/09), maka bisa dipastikan sakit yang diderita tidak lagi termasuk sakit ringan, sudah sudah berat. Indikator sakit sudah sampai pada uang. Oleh karena itu pada tahapan awal tidak ada pilihan lain selain memasukkan PT PAL pada ruang perawatan intensif intensif care unit/ICU). Dalam keadaan demikian, pemimpin penyehatan harus mengarahkan semua kemampuan yang dimiliki untuk mendapatkan dana segar. Cash is a king. Boleh dikata uang tunai persis seperti darah segar yang dibutuhkan oleh manusia sakit yang telah kekuarangan darah. Inilah ujian terpenting ketika kini perusahaan berada pada fase paling kritis: tahap penyelamatan.
Ada pekerjaan tambahan lain yang mungkin dilakukan pada tahapan tersebut, yakni melakukan efisiensi. Ini biasanya dilakukan sebelum berpindah haluan menuju peningkatan efektifitas – pendapatan. Rugi sebesar itu biasanya tidak serta merta terjadi. Ada prosesnya. Umumnya juga terkait dengan adanya pemborosan. Jika ternyata ini terkait dengan banyaknya sumber daya manusia, maka ini sungguh pekerjaan teramat sulit. Lihat saja kasus BUMN penerbangan di Bandung itu: lama dan melelahkan. Apalagi kini momentumnya jelas-jelas tidak pas. Secara politik nasional, pilihan arah tersebut sangat tidak populer. Jadi perlu ekstra hati-hati jika terpaksa harus memasuki ranah ini.
Ketika PT PAL telah dapat dipastikan bisa diselamatkan pada tahapan kritis itu, maka barulah perhatian diarahkan untuk mencoba mencari kemenangan-kemenangan kecil (small wins) untuk membuat perusahaan bisa memasuki tahap stabilisasi dengan lebih nyaman. Harus ditemukan proyek-proyek kecil tambahan untuk membuktikan bahwa ada terobosan (dan perubahan) yang telah dihasilkan oleh pemimpin baru. Ini untuk membuktikan bahwa pemimpin baru bisa bekerja. Jika berhasil, maka legitimasi politiknya meningkat tajam. Tingkat kepercayaan karyawan yang meninggi itu, secara tidak langsung bisa digunakan untuk menjaga energi pimpinan agar tidak terkuras dengan cepat. Beban penyehatan bisa dipikul bersama yang menjadikan terasa lebih ringan.
Setelah itu, proses penyehatan boleh dikata telah memasuki tahapan peningkatan efektifitas: menambah omset penjualan. Tahapan ini juah lebih penuh tantangan dibanding tahapan sebelumnya, untuk tidak mengatakan lebih sulit. Percayalah, pekerjaan melakukan penyelamatan dan menekan biaya perusahaan itu jauh lebih mudah dari pada usaha memperoleh tambahan pekerjaan kecil-kecil ini. Apalagi jika dibandingkan dengan mendapatkan order penjualan baru. Sebaliknya, jika kemenangan kecil tersebut gagal diraih, maka masa bulan madu penyehatan akan segera berakhir. Penyehatan macet. Biasanya lebih muskil untuk diulang.
Dalam keadaan demikian, pemimpin penyehatan gagal membangkitkan emosi psikologis orang-orang yang dipimpin. Jika mereka tidak bangkit yang didahului oleh timbulnya perasaan terancam (sense of crisis), maka pemimpin akan segera mengalami kelelahan karena energi perubahan yang dimiliki akan dengan mudah tergerus dan terkuras habis. Layaknya orang yang dengan tiba-tiba merasa mengalami kehausan karena berada pada terik matahari kegagalan yang begitu panas. Tidak ada yang bisa membangkitkan emosi karyawan untuk besedia menumpahkan semua yang dimiliki untuk terlibat sepenuhnya dalam proses penyehatan, kecuali diri mereka sendiri. Pemimpin hanya membantu pada tahapan awal. Bangkitnya antusiasme karyawan itu terjadi jika ada bukti-bukti kecil yang terus bergulir. Dari sini harapan masa depan terbangun kembali.
Tulisan ini hanya sekedar usulan dari seseorang yang secara teoritis dan praktis pernah beberapa kali terlibat dalam penyehatan perusahaan. Boleh didengar dan boleh juga dicampakkan. Semuanya diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan.
*) Suwarsono Muhammad adalah dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar