Manajemen Perusahaan Keluarga

Berapa banyak perusahaan besar di Indonesia yang manajemennya sudah ditangani orang-orang profesional? Memang belum ada penelitian yang sifatnya resmi dan serius untuk masalah ini. Namun saya yakin tidak lebih dari 30 % perusahaan besar tersebut dikendalikan oleh orang-orang profesional. Sisanya, 70 % masih ditangani oleh keluarganya, atau minimal orang-orang yang masih mempunyai hubungan persaudaraan.

Hanya saja permasalahannya, banyak anggota keluarga tidak mempunyai kemampuan dan kemauan. Penunjukan anggota keluarga untuk mengelola perusahaan berdasar atas pertimbangan kekerabatan yang sifatnya sangat subyektif.

Tentang perusahaan keluarga sendiri ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh R. Beckhard dan W. Gibb Dyer. Kata Beckhard, di Amerika 90 % perusahaan dengan kategori cukup besar merupakan perusahaan keluarga atau perusahaan yang dikuasai oleh kelompok keluarga. Di Indonesia, seperti halnya hasil penelitian Beckhard, banyak perusahaan keluarga yang hilang peredarannya ketika ditangani oleh generasi kedua. Sentra batik di Laweyan Solo, sekarang tinggal kenangan yang hanya menyisakan satu dua pengusaha. PT Mantrust yang pernah gilang gemilang merajai agro bisnis sekarang tinggal namanya seiring dengan meninggalnya Teguh Sutantyo, sang pendiri. PT Pardedetex dengan gurita bisnisnya kini tinggal puing-puingnya setelah wafatnya Pardede.

Disisi lain, berbahagialah PT Gudang Garam karena memiliki Rahman Halim sebagai pewaris tahta kerjaan rokok Gudang Garam.

Hanya menjadi masalah lantaran orang macam Rahman Halim, hanya sedikit yang lahir di bumi ini, terutama lagi bumi Indonesia. Generasi pewaris tahta kerajaan bisnis banyak yang tinggal enaknya sehingga terlena keenakan dan gagal membawa bahtera kerajaan bisnis. Orang-orang profesional masih dianggap sebagai orang luar yang tidak mengetahui seluk beluk perusahaan.

Perusahaan keluarga mempunyai sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah komitmen yang tinggi, serta interdepedensi yang juga tinggi. Komitmen yang tinggi terhadap perusahaan, merupakan “kelebihan” anggota keluarga yang sulit tertandingi oleh para profesional. Rasa memiliki (sense of belonging) anggota keluarga sangat tinggi, karena secara riil mereka memang pemilik perusahaan. Namun hal ini dapat menjadi bumerang ketika rasa memiliki ini mengkristal dan menjelma menjadi subyektifitas, yang dapat mengurangi akurasi dalam pengambilan keputusan.

Dalam perkembangannya, perusahaan keluarga akan mengalami titik kritis yang bila tidak diatasi akan membawa kehancuran pada perusahaan bersangkutan.

Ada dua titik kritis, yaitu, pertama, berhubungan dengan anggota keluarga. Permasalahan yang akan dihadapi adalah, adik-adik atau kakak pemilik masuk. Kemudian ada anggota keluarga menikah. Atau generasi kedua mulai ikut mengelola perusahaan. Disinilah muncul multiple leadership, masing-masing anggota keluarga bertindak sebagai pemimpin yang harus ditaati.

Kedua, berkaitan dengan masalah organisasi, manajemen dan SDM. Perusahaan keluarga harus menyiasati munculnya rentang kendali yang semakin luas, perangkapan jabatan secara berlebihan oleh anggota keluarga.

Perusahaan keluarga, bukanlah sesuatu yang buruk. Demikian juga menempatkan anggota keluarga dalam posisi kunci. Yang harus dipertimbangkan adalah tiga pertanyaan dasar untuk menopang eksistensi perusahaan keluarga.

Pertama, apakah dalam perusahaan telah ditetapkan rambu-rambu dalam pengelolaan perusahaan (atau dalam kata lain telah dijalankan profesionalisme).

Kedua, apakah anggota keluarga itu mempunyai kemauan untuk menjalankan rambu-rambu yang telah ditetapkan.

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds